Para ahli sejarah melukiskan semangat kepemudaan Mus’ab bin Umair dengan kalimat, “Seorang warga kota Makkah yang mempunyai nama paling harum.” Mungkinkah kiranya anak muda yang serba kecukupan, biasa hidup mewah dan dimanja, menjadi buah bibir gadis-gadis Makkah dan menjadi bintang di tempat-tempat pertemuan, akan meningkat sedemikian rupa hingga menjadi buah cerita tentang keimanan, menjadi teladan akan semangat kepahlawanannya?
Suatu saat Mus’ab dipilih Rasulullah SAW untuk mengajarkan agama kepada orang-orang Anshar yang telah beriman dan bai’at kepada Rasulullah di bukit ‘Aqobah yang tidak lebih dari dua belas orang. Mengajak orang lain untuk menganut agama Allah, serta mempersiapkan kota Madinah uintuk menyambut hijrahnya Rasullullah SAW. Mus’ab memikul amanah itu dengan bekal karunia Allah kepadanya, berupa pikiran yang cerdas dan budi yang luhur. Dengan sifat zuhud, kejujuran, dan kesungguhan hati, ia berhasil melunakkan dan menawan hati penduduk Madinah hingga mereka berduyun-duyun masuk Islam. Tidak sampai beberapa bulan, meningkatlah orang yang sama-sama memenuhi panggilan Allah dan Rasul-Nya.
Pada musim haji berikutnya dari perjanjian ‘Aqobah, kaum mulimin Madinah mengirim utusan yang mewakili mereka menemui nabi. Dan utusan itu dipimpin oleh duta yang dikirim nabi kepada mereka, yaitu Mus’ab bin Umair. Di Madinah, Ia tinggal di rumah As’ad, ia pergi mengunjungi kabilah-kabilah, rumah-rumah dan tempat-tempat pertemuan, untuk membacakan ayat-ayat kitab suci dari Allah dengan cara hati-hati. Suatu hari ketika beliau menyampaikan petuah kepada orang-orang, tiba-tiba disergap Usaid bin Hudhair kepala suku kabilah Abdul Asyhal di Madinah. Usaid menodong Mus’ab dengan menyentakkan lembingnya. Bagaikan singa hendak menerkam, Usaid berdiri didepan Mus’ab dan Ibnu Zararah, bentaknya, “Apa maksud kalian datang ke kampung kami ini, apakah hendak membodohi rakyat kecil kami? Tinggalkan segera tempat ini, jika tak ingin segera nyawa kalian melayang!” Tetapi sikap Mus’ab tenang dan mantap laksana ketenangan samudera dalam, laksana terang dan damainya cahaya fajar, terpancarlah ketulusan hati Mus’ab, dan bergeraklah lidahnya mengeluarkan ucapan yang halus, katanya, “Kenapa anda tidak duduk dan mendengarkan dulu? Seandainya anda menyukai kami nanti, anda dapat menerimanya. Sebaliknya jika tidak, kami akan menghentikan apa yang tidak anda sukai ini!” Sebenarnya Usaid orang yang berakal dan berpikiran sehat. Kemudian Mus’ab mengajaknya berbicara dan meminta pertimbangan kepada hati nuraninya sendiri, sekedar mau mendengarnya bukan yang lainnya. Jika ia setuju maka ia akan membiarkan Mus’ab, dan jika tidak, maka Mus’ab berjanji akan meninggalkan kampung dan masyarakat mereka untuk mencari tempat dan masyarakat lain, dengan tidak merugikan ataupun dirugikan orang lain. “Sekarang saya insaf”, ujar Usaid, lalu menjatuhkan lembingnya ke tanah dan duduk mendengarkan.
Mus’ab membacakan ayat-ayat Al-Qur’an dan menguraikan dakwah yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW, maka dada Usaid mulai terbuka dan bercahaya, beralun berirama mengikuti naik turunnya suara serta meresapi keindahannya. Dan belum lagi Mus’ab selesai dari uraiannya. Usaid pun berseru kepadanya dan kepada sahabatnya, “Alangkah indah dan benarnya ucapan itu…! dan apakah yang harus dilakukan oleh orang yang hendak masuk agama ini?” maka sebagai jawabannya gemuruhlah suara tahlil, serempak seakan hendak menggoncangkan bumi. Kemudian ujar Mus’ab, “Hendaklah dia mensucikan diri, pakaian dan badannya, serta bersaksi bahwa tiada Tuhan yang hak diibadahi melainkan Allah SWT.” Beberapa lama Usaid meninggalkan mereka, kemudian kembali sambil memeras air dari rambutnya, lalu ia berdiri sambil menyatakan pengakuannya bahwa tiada Tuhan yang haq diibadahi kecuali Allah dan bahwa Muhammad SAW itu utusan Allah.
Berita itu tersiar cepat. Keislaman Usaid disusul oleh kehadiran Sa’ad bin Mu’adz. Dan setelah mendengar uraian Mus’ab, Sa’ad merasa puas dan masuk Islam pula. Dengan masuknya Islam mereka maka para kabilah dan penduduk setempat berbondong-bondong menyatakan keislamannya setelah kepala kabilah mereka masuk Islam. Mendengar hal itu orang-orang Quraisy tambah geram dengan dendamnya, mereka menyiapkan tenaga untuk melanjutkan tindakan kekerasan terhadap hamba-hamba Allah yang sholih. Terjadilah perang Badar dan kaum Quraisy pun memperoleh pelajaran pahit yang menghabiskan sisa-sisa pikiran mereka, hingga mereka berusaha untuk menebus kekalahan. Kemudian disusul perang Uhud. Pada perang ini Uhud, pasukan panah kurang menaati peraturan Rasulullah, mereka meninggalkan kedudukannya di celah-celah bukit setelah melihat orang-orang musyrik menderita kekalahan dan mengundurkan diri. Peristiwa ini berubah drastis dari kemenangan menuju kekalahan. Dengan tidak diduga pasukan berkuda Quraisy menyerbu kaum muslimin dari puncak bukit, lalu tombak dan pedang pun berdentang membantai kaum muslimin yang tengah kacau balau.
Melihat barisan kaum muslimin porak poranda, musuhpun menujukan serangan kearah Rasulullah dengan maksud membunuh beliau. Mus’ab menyadari suasana gawat ini. Maka diacungkannya bendera setinggi-tingginya dan bagaikan ngauman singa ia bertakbir sekeras-kerasnya, lalu maju ke muka, melompat, mengelak dan berputar lalu menerkam. Dimaksudkan untuk menarik perhatian musuh kepadanya dan melupakan Rasulullah, dengan demikian dirinya pribadi bagaikan membentuk barisan tentara. Sungguh, walaupun seorang diri, tetapi Mus’ab bertempur laksana pasukan tentara besar, sebelah tangannya memegang bendera bagaikan tameng kesaktian, sedang yang sebelah lagi menebaskan pedang dengan matanya yang tajam, tetapi musuh kian bertambah banyak juga, mereka hendak menyeberang dengan menginjak-injak tubuhnya untuk mencapai Rasulullah. Maka gugurlah Mus’ab dan jatuhlah bendera. Ia gugur sebagai bintang dan mahkota para syuhada’, dan hal itu dialaminya setelah dengan keberanian luar biasa mengarungi kancah pengorbanan dalam keimanan. Mus’ab berpikir sekiranya ia gugur, tentulah jalan para pembunuh akan terbuka lebar menuju Rasulullah tanpa ada pembela yang akan mempertahankannya. Demi cintanya yang tiada batas kepada Rasulullah dan cemas memikirkan nasibnya nanti, ketika ia akan pergi berlalu, setiap kali pedang jatuh menerbangkan sebelah tangannya, ia menghibur diri dengan ucapan, “Muhammad tiada lain hanyalah seorang Rasul, dan sebelumnya telah didahului oleh beberapa Rasul.” Kalimat yang kemudian dikukuhkan sebagai wahyu ini selalu diulang dan dibacanya sampai selesai, hingga akhirnya menjadi ayat Al-Qur’an yang selalu dibaca orang.
Ketika peperangan Uhud telah usai, maka Rasulullah bersama para sahabat datang meninjau medan pertempuran untuk menyampaikan perpisahan kepada para syuhada’. Ketika sampai ditempat terbaringnya jasad Mus’ab, bercucuranlah dengan deras air mata Rasulullah SAW. Betapapun luka pedih dan duka yang dalam menimpa Rasulullah karena gugur pamannya Hamzah dan dirusak tubuhnya oleh orang-orang musyrik demikian rupa, hingga bercucurlah air mata nabi, dan betapapun penuhnya medan laga dengan mayat para sahabat dan kawan-kawannya, yang masing-masing mereka baginya merupakan panji-panji ketulusan, kesucian dan cahaya, betapa jua semua itu, tapi Rasulullah tak melewatkan berhenti sejenak dekat jasad dutanya yang pertama, untuk melepas dan mengeluarkan isi hatinya, Rasulullah berdiri di depan Mus’ab dan membaca ayat Allah, “Diantara orang-orang mukmin terdapat pahlawan-pahlawan yang telah menempati janjinya dengan Allah.” (Qs. Al-Ahzab : 23) Kemudian memandangi burdah yang digunakan untuk kain tutupnya seraya bersabda, “Ketika di Makkah dulu, tak seorang pun aku lihat yang lebih halus pakaiannya dan lebih rapi rambutnya dari padamu. Tetapi sekarang ini, dengan rambutmu yang kusut masai, hanya dibalut sehelai burdah. ”Kemudian sambil berpaling ke arah para sahabat yang masih hidup, beliau bersabda, “Hai manusia! Berziarahlah dan berkunjunglah kepada mereka, serta ucapkanlah salam! demi Allah yang menguasai nyawaku, tak seorang muslim pun sampai hari kiamat yang memberi salam kepada mereka, pasti mereka akan membalasnya.”